Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 17 tahun saya menikah. Sudah satu tahun suami saya selingkuh dan sering berzina. Tapi saya selalu berdoa dan memaafkanya dengan harapan suami akan bertobat. Ternyata sampai sekarang tidak berubah malah semakin menjadi-jadi. Suami seperti orang kaya, dua bulan tidak pulang, kami ditelantarkan, dengan ditinggal hutang-hutangnya. Sekarang saya dan anak-anak berniat pulang ke orang tua dan meninggalkan rumah. Bagaimana pandangan Islam dengan sikap saya? Apakah tindakan saya meninggalkan rumah, sebagai istri dosa? Karena biaya hidup daerah saya tinggi. Saya sudah berusaha melamar pekerjaan. Dia berubah sejak punya semua. Anak kami mau masuk SMK pun, dia menghindar.
(Anna Pitaloka)
JAWABAN
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
اللَّهُمَّ صَلِّي وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ مَنْ تَبِعَ هُدًى
Saudariku Anna Pitaloka, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatNya pada diri Anda dan memberikan solusi terbaik untuk Anda.
17 tahun pernikahan bukanlah masa yang singkat. Bertahan selama 17 tahun dalam keluarga yang harmonis adalah nikmat tersendiri dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika suami kemudian berubah dalam setahun terakhir, mungkin ada sesuatu yang menjadi pemicunya. Jika Anda dapat menemukan pemicu itu lalu dengannya Allah mengembalikan suami ke jalan yang benar, tentu ini adalah hal terbaik bagi Anda.
Seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Nafkah lahir adalah nafkah materi, yaitu makanan, pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Sedangkan nafkah batin, salah satunya adalah hubungan suami istri.
Dalam kondisi normal, seorang istri hendaknya tidak meninggalkan rumah kecuali dengan seizin suaminya. Bahkan, seorang istri yang telah ditalak (dicerai) suaminya saja wajib tetap tinggal di rumah selama masa iddah dan suaminya juga haram mengusirnya dari rumah tersebut.
Akan tetapi apa yang Anda alami, suami tidak memberikan nafkah kepada Anda dan anak-anak, justru meninggalkan hutang padahal ia punya banyak uang dan Anda juga tidak memiliki penghasilan, maka diperbolehkan bagi Anda untuk pulang ke rumah orangtua. Sebab Anda melakukannya karena terpaksa, dan itu lebih baik daripada membiarkan anak-anak kelaparan dan menjadi sakit karenanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memaafkan umatku dari kesalahan (yang tidak disengaja), (kesalahan karena) lupa, serta kesalahan yang terpaksa dilakukan” (HR. Ibnu Majah; shahih)
Agar lebih baik dan semoga bisa menyentuh suami, tinggalkanlah pesan sebelum pulang ke rumah orangtua. Jika suami tidak bisa dihubungi dengan telepon (seluler), tulislah sebuah surat untuknya. Katakan bahwa Anda sangat mengharapkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan ini juga kesempatan bagi Anda untuk menasehati suami, bahwa zina merupakan dosa besar. Jika tidak bertaubat dan tidak diampuni Allah, zina memasukkan pelakunya ke neraka yang paling hebat panasnya dan paling busuk baunya. Sampai-sampai penghuni neraka lainnya tersiksa dengan baunya para pezina.
Tulislah di surat itu bahwa Anda merindukan saat-saat seperti dulu, ketika keluarga harmonis. Anda menginginkan kembalinya masa-masa indah bersama keluarga dan anak-anak tercinta. Dan demi mereka, Anda kini memutuskan untuk pulang ke orang tua. Agar anak-anak tidak sakit, agar anak-anak tetap bisa sekolah dan tidak kehilangan masa depan karena sang ayah telah menghentikan nafkah. Tunaikan shalat tahajud sebelum menulis surat, dan berdoalah. Semoga tulisan itu membuat hatinya terketuk, dan ia bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Berdoalah dan teruslah berdoa.
Pada kasus di mana terkumpul dua kesalahan suami, berzina dan tidak menafkahi, sebenarnya Islam memberikan hak kepada istri untuk meminta cerai. Bahkan, di zaman Rasulullah, ada istri yang meminta dicerai bukan karena kesalahan fatal suami, tetapi karena ia khawatir tidak bisa hidup bersamanya dengan saling menunaikan tanggung jawab sebagai suami istri. Sebab, sang suami pendek dan jelek, tidak sesuai dengan perkiraannya semula. Dan Rasulullah kemudian memfasilitasi aduan itu.
جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ ، إِلاَّ أَنِّى أَخَافُ الْكُفْرَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ . فَقَالَتْ نَعَمْ . فَرَدَّتْ عَلَيْهِ ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sanggup mengembalikan kebun (mahar)nya?” Ia menjawab, “Ya.” Ia lalu mengembalikan kebunnya kepada Tsabit dan Nabi pun memerintahkan Tsabit menceraikannya. Dia pun menceraikannya.” (HR. Bukhari)
Meskipun demikian, insya Allah jika suami bertaubat dan kembali menjadi keluarga harmonis merupakan langkah yang lebih baik bagi Anda, suami dan anak-anak tercinta. Kami mendoakan semoga berakhir dengan hal terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab.
No comments:
Post a Comment